Artikel ditulis oleh : Guru Al Khoir, Solo.

Praktik penggunaan unggah-ungguh Bahasa Jawa yang tidak pada tempatnya masih banyak penulis temui di lapangan. Berikut ini penulis sajikan  kutipan  percakapan  antara  siswa  kelas rendah dengan guru di sekolah saat siswa akan meminta izin ke kamar kecil. 

Siswa: “Bu, pipis”. (Siswa berkata “Bu, mau kencing” sambil berlari)

Guru : “Nggih, pareng”. (Ya, boleh).

Kalimat yang dikatakan siswa kepada gurunya adalah kurang sopan, terlebih lagi siswa mengatakannya   sambil   berlari   karena   tidak tahan ingin buang air kecil. Seharusnya, siswa menggunakan unggah-ungguh seperti di bawah ini. 

Siswa: “Bu, badhe wonten wingking”. (Siswa berkata “Bu, mau ke belakang” sambil berdiri dengan sopan)

Guru : “Nggih, pareng”. (Ya, boleh).

Kalimat badhe wonten wingking lebih sopan untuk mengatakan buang air kecil daripada kata pipis. Tetapi dalam penggunaan ragam ngoko, kata pipis adalah wajar karena digunakan untuk bahasa teman sebaya. Misalnya pada percakapan di bawah ini antara Zaki dan Ali.

Zaki:  “Ali, aku arep pipis, enteni ya”. (Ali, saya mau buang air kecil, tunggu ya)

Ali: “Ya, aja suwe-suwe”. (Ya, jangan lama- lama).

Contoh percakapan antarsiswa yang berbeda usia dan belum menggunakan unggah-ungguh Bahasa Jawa dengan tepat ada pada percakapan antara  Isna  (siswa  kelas V)  dan  Rosita  (siswa kelas III) pada saat jam istirahat berikut.

Rosita: “Mbak, aku njaluk jajane ya”. (Mbak, aku minta jajannya ya)

Isna:     “Ya oleh”. (Ya boleh)

Kata njaluk merupakan bentuk ngoko yang wajar apabila digunakan untuk berinteraksi dengan teman yang sebaya. Tetapi untuk berinteraksi dengan teman yang lebih tua kata njaluk adalah kurang sopan. Semestinya kata njaluk dalam kalimat di atas diganti dengan kata nyuwun. Sehingga  kalimat  yang  seharusnya  diucapkan oleh Rosita adalah “Mbak, aku nyuwun jajane ya”.

Percakapan siswa dengan penjual di kantin sekolah yang sering penulis temui juga belum menggunakan unggah-ungguh Bahasa Jawa yang tepat.  Misalnya  pada  percakapan  antara Anam dengan Mbak Tri di bawah ini.

Anam :       “Mbak, iki pira regane?” (Mbak, ini berapa harganya?)

Mbak Tri : “Sewu” (Seribu)

Anam :       “Aku tuku ya” (saya beli ya)

Penjual di kantin sekolah adalah orang yang lebih tua. Seharusnya siswa menggunakan ragam krama untuk berinteraksi saat membeli jajan di kantin. Bentuk percakapan yang betul seharusnya seperti di bawah ini.

Anam:       “Mbak,    niki    pinten    reginipun?”

(Mbak, ini berapa harganya?) Mbak Tri : “Sewu” (Seribu)

Anam :      “Kula tumbas nggih” (saya beli ya).

Kekeliruan siswa dalam menggunakan unggah-ungguh Bahasa Jawa adalah hal yang harus   diluruskan   guru.   Selain   membedakan ragam krama dengan ragam ngoko, unggah- ungguh Bahasa Jawa juga memuat sopan santun perilaku seperti tata cara saat berpapasan dengan orang lain, tata cara saat lewat di hadapan orang yang lebih tua, tata cara bertamu, meminta maaf, berterima kasih, dan sebagainya. Sopan santun dalam berperilaku ini juga tampak meluntur pada diri siswa. Misalnya, siswa tidak tahu cara lewat di depan orang yang lebih tua sehingga berlalu saja saat lewat di depan gurunya, siswa tidak meminta maaf saat terlambat, lupa tidak berterima kasih, dan sebagainya.

Bahasa Jawa ragam krama dalam berdialog sesuai unggah-ungguh Bahasa Jawa. Selain itu, perilaku siswa dalam pembelajaran mengalami perubahan yaitu   siswa   lebih   antusias,   memperhatikan dengan saksama, dan senang dalam mengikuti pembelajaran Bahasa Jawa.

Berdasarkan hasil pengamatan penulis terhadap kondisi yang ada di sekolah dan penelitian-penelitian terdahulu seperti yang telah dipaparkan di atas, penulis memiliki gagasan bahwa upaya penguatan karakter siswa dapat dilakukan dengan unggah-ungguh Bahasa Jawa. Karakter yang dapat dibentuk dengan unggah- ungguh Bahasa Jawa adalah karakter spesifik yang tercakup dalam nilai-nilai pendidikan karakter dengan menggunakan strategi pelaksanaan yang tepat.

Karakter spesifik yang dapat ditanamkan melalui   penggunaan   unggah-ungguh   Bahasa Jawa merujuk pada delapan belas nilai karakter yang dituangkan oleh Kemendiknas (2011). Apabila  merujuk  pada  nilai-nilai  karakter tersebut,   penanaman   unggah-ungguh   Bahasa Jawa secara khusus dapat membentuk karakter semangat kebangsaan, cinta tanah air, bersahabat komunikatif, cinta damai, dan peduli sosial.

Melalui penggunaan unggah-ungguh Bahasa Jawa,  semangat  kebangsaan  dan  cinta  tanah air akan terbentuk pada diri siswa mengingat Bahasa Jawa merupakan kekayaan budaya Indonesia yang perlu untuk terus dijaga dan dilestarikan. Dengan bertutur kata menggunakan unggah-ungguh Bahasa Jawa, siswa juga belajar tentang nilai karakter bersahabat/komunikatif. Siswa belajar menghargai orang lain dengan berkomunikasi menggunakan unggah-ungguh Bahasa Jawa sesuai jenjang usianya. Penggunaan unggah-ungguh Bahasa Jawa sekaligus dapat menanamkan karakter cinta damai dan peduli sosial. Melalui tutur kata dan komunikasi yang baik, akan tumbuh perasaan cinta damai dalam diri siswa. Kepedulian sosial pun akan muncul ketika siswa terampil dalam menggunakan unggah-ungguh Bahasa Jawa.

Apabila dikaitkan dengan Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang menonjolkan lima nilai karakter utama yakni: religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas, maka    penggunaan    unggah-ungguh    Bahasa Jawa secara langsung maupun tidak langsung telah bersinggungan dengan nilai-nilai karakter tersebut.  Nilai  karakter  yang  menonjol  dalam hal ini adalah nasionalis dan integritas. Karakter nasionalis yang tecermin dalam penggunaan unggah-ungguh Bahasa Jawa sesuai dengan subnilai nasionalis yaitu apresiasi dan menjaga kekayaan budaya bangsa. Sedangkan karakter integritas yang tecermin dalam penggunaan unggah-ungguh Bahasa Jawa yaitu keteladanan dan penghargaan terhadap martabat individu.

Strategi  pelaksanaan  pendidikan  karakter di sekolah menurut penelitian yang dilakukan Sudrajat (2011) dapat dilakukan melalui empat cara,    yaitu:    (1)    pembelajaran    (teaching), (2) keteladanan (modeling), (3) penguatan (reinforcing), dan (4) pembiasaan (habituating). Keempat komponen tersebut harus dilaksanakan secara serentak dan berkelanjutan dengan melibatkan keluarga, sekolah,dan masyarakat. Sedangkan Hidayatullah (2010: 39) menjelaskan bahwa strategi dalam pendidikan karakter dapat dilakukan  melalui  sikap-sikap  sebagai  berikut: (1)  keteladanan,  (2)  penanaman  kedisiplinan, (3) pembiasaan, (4) menciptakan suasana yang konduksif, dan (5) integrasi dan internalisasi.

Setelah melakukan telaah pustaka dan diskusi dengan kepala sekolah beserta guru kelas IV, V, dan VI di SDIU SURAKRATA penulis mengambil dua strategi  utama dalam upaya penanaman unggah- ungguh Bahasa Jawa, yaitu keteladanan dan pembiasaan. Keteladanan dalam menggunakan unggah-ungguh Bahasa Jawa dapat diterapkan dalam percakapan antarguru di lingkungan sekolah dan antara guru dengan siswa. Pembiasaan penggunaan unggah-ungguh Bahasa Jawa di sekolah dapat dilakukan pada saat pelajaran Bahasa Jawa, pada situasi informal di luar kelas, maupun di sela-sela kegiatan pembelajaran.

Penanaman unggah-ungguh Bahasa Jawa juga memerlukan ketelatenan guru. Guru harus mau untuk mengoreksi ketika murid melakukan kekeliruan dalam menuturkan ragam ngoko, maupun krama. Guru harus membiasakan diri untuk memberikan penguatan apabila siswa menggunakan unggah-ungguh Bahasa Jawa dengan baik, serta memberikan teguran apabila siswa masih menggunakan ragam ngoko ketika berbicara dengan orang yang lebih tua. Melalui pendampingan secara terus menerus, diharapkan siswa   menjadi   terampil   dalam   menggunakan unggah-ungguh Bahasa Jawa.

Sumber dari jurnal Kebudayaan Ari Wijayanti. Penguatan karakter siswa melalui penggunaan Unggah­ungguh bahasa jawa. 2019.

Leave a Comment